Sabtu, 19 November 2016

Reformasi TNI

I.       LATAR BELAKANG

Reformasi TNI merupakan respon kalangan TNI terhadap desakan publik terhadap penghapusan peran politik dan ekonomi TNI serta akuntabilitas atas pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan sebelum 1998. Tuntutan reformasi tersebut berujung pada jatuhnya pemerintahan Rezim Orde Baru. Secara umum, tuntutan gerakan masyarakat dalam reformasi di sektor keamanan berupa transformasi kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi keamanan negara dari sistem lama yang otoriter menuju sistem baru yang demokratis. Sehingga aktor-aktor keamanan (termasuk TNI) menjadi institusi profesional, menjadi subjek dari supremasi pemerintahan sipil, akuntabel serta menghormati HAM.

Sektor keamanan yang dimaksud di atas adalah seluruh institusi yang memiliki otoritas untuk menggunakan atau mengerahkan kekuatan fisik atau ancaman penggunaan kekuatan fisik dalam rangka melindungi negara dan warga negara. Dalam definisi ini termasuk TNI dan Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia), maupun segenap institusi sipil yang bertanggungjawab dalam pengelolaan dan peng-awasannya, seperti Presiden, Departemen Pertahanan dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Reformasi TNI merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan, yaitu reformasi kolektif intra-institusional.

Sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan, TNI kini hanya menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan politik negara yang ditetapkan presiden dan bukan politik kekuasaan partai politik pengusung presiden. TNI setia dan patuh kepada presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI sepanjang presiden juga taat konstitusi.  Keterlibatan TNI dalam politik praktis kini hanya barisan purnawiran. Sementara keterlibatan TNI aktif, meskipun masih sayup terdengar, sudah haram hukumnya. TNI kini lebih menyadari bahwa profesionalismenya sudah terbukti koyak manakala terjun ke politik praktis sebagaimana masa lalunya.

Alasan kelompok kami memilih topik Reformasi TNI adalah untuk memperkaya ilmu pengetahuan mengenai peran TNI di masa pra-reformasi serta menunjukan dampak dari reformasi TNI di era sekarang. Selain itu memperdalam maksud dan tujuan dari tuntutan adanya reformasi fungsi TNI. Diharapkan dengan penulisan makalah ini pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang bagaimana pengaruh reformasi TNI yang dahulunya sangat terkenal dengan sistem otoriter menjadi umum. Dimana pembaca dapat mengetahui perjalanan reformasi TNI yang powerful menjadi TNI yang proporsional.



II.      Perspektif Demokrasi

Pada topik Reformasi TNI ini kami menggunakan Perspektif Demokrasi yang bersumber dari buku ‘Dasar-Dasar Ilmu Polittik” oleh Prof. Miriam Budiardjo untuk menganalisa hal hal yang akan kami bahas dalam makalah ini. Demokrasi berasal dari kata Yunani yaitu demos dan kratos. Demos artinya rakyat dan kratos berarti pemerintahan. Demokrasi menurut Lincoln adalah pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan yang rakyatnya memegang peranan yang sangat menentukan. Pengertian demokrasi secara harfiah adalah rakyat memerintah dengan perantara wakil-wakilnya dan hak rakyat harus diperhatikan. Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Menurut Henry B. Mayo dalam buku Introduction to Democratic Theory Demokrasi mempunyai nilai-nilai intrinsik yaitu:
1.            Penyelesaian perselisihan dengan damai dan secara melembaga
2.            Terjaminnya perubahan-perubahan secara damai dalam suatu masyarakat
3.            Penyelenggaraan pergantian kepepimpinan (succession) secara teratur
4.            Pembatasan penggunaan kekerasan
5.          Pengakuan terhadap adanya keanekaragaman dan perbedaan sebagai fakta kehidupan manusia
6.            Terjaminnya keadilan melalui penegakan hukum

Selain itu menurut Sudarminta, dalam perannya terhadap politik demokrasi memiliki hakikat yang terdiri dari:
1.      Persetujuan (concent) rakyat
2.      Partisipasi efektif rakyat dalam pembuatan keputusan politik
3.      Persamaan kedudukan di depan hukum
4.      Kebebasan individu menentukan diri
5.      Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia
6.      Mekanisme kontrol sosial terhadap Pemerintah
7.      Ketersediaan dan keterbukaan informasi

Demokrasi terdiri dari beberapa macam, di Indonesia sendiri telah terjadi pergantian  beberapa model demokrasi. Pada saat ini indonesia menerapkan sistem demokrasi konstitusional. Pada sistem demokrasi konstitusional ini terdapat beberapa point penting dalam penerapannya yaitu  Aturan dasar demokrasi konstitusional tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut Pemerintah berdasarkan konstitusi (constitutional government). Ciri khas demokrasi konstitusional (DM) adalah gagasan bahwa pemerintahan yang dibatasi kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenangnya terhadap warga negaranya. Dengan adanya demokrasi konstitusional ini diharapkan bahwa Reformasi TNI akan berjalan dengan sesuai dengan keinginan rakyat.

Sepanjang rezim Orde Baru sipil selalu berada di bawah tekanan supremasi militer, kondisi semacam itu berjalan mulus walaupun bukan berarti tanpa kritik. Keseluruhan reformasi TNI diarahkan pada terwujudnya supremasi sipil sebagai kondisi nyata bergesernya otoritas kekuatan sosial baru.



III.     ANALISA

Militer dan Politik Elektoral

    KontraS mencatat, pasca 2004 banyak anggota TNI, baik purnawirawan maupun yang masih aktif ikut dalam pertarungan pemilihan kepala daerah (pilkada). Meskipun jauhjauh hari Panglima TNI yang waktu itu dijabat oleh Jenderal Endriartono Sutarto sudah memperingatkan mengenai netralitas TNI dalam pilkada, serta tidak diperkenankannya anggota TNI aktif untuk ikut mencalonkan diri, namun kembali fakta di lapangan berkata lain, beberapa anggota TNI aktif tetap tergoda untuk ikut bertarung berebut kursi gubernur/wakil gubernur ataupun walikota/bupati. Fenomena ini sebenarnya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, persoalan regulasi politik yang memang masih memberi peluang bagi anggota aktif TNI untuk ikut mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Walaupun dalam UU TNI Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan, setiap prajurit (anggota TNI aktif) dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya, UU Pemilihan Umum masih memberi celah tersebut. Anggota TNI aktif boleh mencalonkan diri sebagai calon dalam Pemilu dengan syarat harus berstatus non aktif yang bersifat sementara, jika terpilih baru kemudian diberhentikan/pensiun dini. Celah inilah yang membuat TNI secara institusional tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada anggotanya yang berniat untuk ikut bertarung dalam pemilihan umum. 

      Kedua, tentu persoalan paradigma juga masih merupakan masalah pokok. Sejak proses reformasi 1998, TNI gagal untuk meredefinisikan atau merevitalisasi paradigma mengenai “TNI adalah tentara rakyat” yang lahir dari rakyat dan bersama rakyat. Paradigma ini cenderung mengaburkan hubungan sipil militer dalam sistem negara, sehingga dengan berbekal paradigma itu, TNI selain berperan dalam pertahanan negara juga harus memiliki peran di wilayah publik seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kegagalan meredefinisikan paradigma ini, membawa figur-figur militer masih terus tergoda untuk masuk ke wilayah publik, contoh nyatanya adalah pilkada. Celakanya kegagalan paradigmatik ini diikuti dengan tumpulnya analisa politik dari kalangan militer dalam membaca perubahan, peluang politik yang ditawarkan partai politik tidak seiring dengan kesadaran dan minat pemilih. Hal ini dibuktikan dengan tumbangnya beberapa figur militer di beberapa pilkada. Contohnya adalah gagalnya Tayo Tahmadi di Jawa Barat yang disusul kalahnya Agum Gumelar pada pemilihan Gubernur selanjutnya di Jawa Barat. Hal yang sama dialami Tritamtomo di Jawa Timur, disusul Letkol (Bais) Didi Sunardi di Serang Banten, dan Kolonel (Inf) DJ Nachrowi di Ogan Ilir Sumatera Selatan. Belum lagi pertarungan dua Jenderal purnawirawan yakni Letjend TNI (Purn) Bibit Waluyo dan Mayjen TNI (Purn) Agus Suyitno di Jawa Tengah. Kekalahankekalahan ini menunjukkan bahwa pilihan rakyat tidak lagi menyandarkan pilihannya pada figur yang berlatar belakang militer, sehingga sangat merugikan bagi TNI, jika melepaskan kader-kader terbaiknya untuk bertarung dalam kontestasi pemilu. Tenaga dan pikiran mereka akan berkontribusi lebih banyak jika fokus pada tugas pokok TNI yang diamanatkan konstitusi kita sebagai alat pertahanan negara.

      Ketiga, masalah lain berada di luar institusi TNI, yakni lemahnya kapasitas politik sipil dalam hal kaderisasi internal partai. Frustasi politik dalam mencetak kader yang berkualitas, selalu membuat partai masih mencari-cari figur dari militer yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Dalam hal ini figur militer selalu difasilitasi dan ditariktarik oleh partai untuk masuk dalam kontestasi politik. Peluang ini jelas disambut baik oleh para figur militer yang memang kebetulan punya ambisi politik namun peluang politiknya tertutup oleh proses reformasi TNI yang memangkas tradisi politik TNI. Secara institusi TNI juga tidak bisa berbuat banyak, karena peluang itu sah dan dibenarkan oleh regulasi yang ada. Majunya calon berlatar belakang militer bisa dilihat dari banyaknya purnawirawan Jenderal yang berminat untuk bertarung dalam kontestasi pemilihan presiden 2009 maupun yang ikut dalam pengurus partai politik. Sebut saja nama Sutiyoso (Koalisi Partai), Yunus Yosfiah (PPP), Budi Harsono (Golkar), Marsda (purn) Ronggo Soenarso (PPD), Mayjen (purn) Syamsu Djalal (PBR), Mayjen (purn) Cholid Ghozali (PBR), Mayjen (purn) Djalal Bachtiar (PBR), Laks Madya (purn) Sumitro (PIB),  Wiranto (Hanura), HR Hartono Hartarto (PKPB), Prabowo Subianto (Gerindra), Try Sutrisno bersama Edi Sudrajat (PKPI), dan Suaidy Marassabesy (Hanura), serta Letjen (purn) Syahrir MS. (RepublikaN) dan lain-lain. Menurut Kusnanto Anggoro, banyaknya purnawirwan TNI yang ikut ambil bagian dalam panggung politik nasional juga merupakan fenomena yang menunjukkan bahwa reformasi 1998 sama sekali tidak memutus secara tegas rezim militer dan sipil, tidak seperti di Argentina . 


TNI diwajibkan meninggalkan politik praktis, dihilangkanya tugas kekaryaan (apabila bertugas di institusi sipil harus mengajukan pensiun).
     
     Pada masa orde baru tahun 1998, banyak perwira TNI yang merangkap jabatan di pemerintahan. Dan setelah adanya reformasi di tubuh TNI, sangat diharamkan bagi anggota TNI untuk terlibat politik dan merangkap jabatan di pemerintahan. Namun jika anggota TNI tersebut tetap ingin masuk ke dunia politik maka harus dihilangkannya tugas kekaryaan, dimana tugas di institusi sipil maka harus mengundurkan diri terlebih dahulu menjadi anggota TNI. Salah satu contohnya yang sekarang masih menjadi sebuah pertanyaan yaitu Agus Yudhoyono yang merelakan karirnya yang telah menjadi seorang “Mayor” demi melangkah di Pilgub DKI Jakarta 2017.
Meskipun dilatarbelakangi dengan karir di TNI yang sukses dimana Agus merupakan salah satu lulusan terbaik Akmil dan pernah juga melaksanakan pendidikan tentang Kepemimpinan di luar negeri, namun dia harus tetap menerima resiko dengan melepaskan seragam lorengnya ketika dia memilih untuk melangkah ke dunia politik dengan ikut serta sebagai calon gubernur DKI Jakarta tahun 2017, dikarenakan adanya reformasi TNI yang melarang para anggotanya untuk menjabat di pemerintahan ketika masih aktif menjadi anggota TNI.

      Dalam fakta ini, jangankan mencalonkan diri untuk menjabat di pemerintahan seperti calon kepala daerah, untuk mendukung salah satu pasangan calon saja merupakan sebuah pelanggaran dan sangat dilarang. Contoh kasusnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat itu yang sedang menjabat mengemukakan adanya pihak-pihak yang berniat untuk menarik TNI dan Polri untuk mendukung pasangan Capres dan Cawapres tertentu dalam Pilpres 9 Juli. Dan menanggapi hal tersebut, Pimpinan TNI pada saat itu langsung memastikan tidak ada perwira atau anggota TNI yang terindikasi terlibat politik praktis dengan mendukung salah satu calon presiden dalam pemilihan presiden pada 9 Juli. Larangan ini pun terdapat di dalam undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) :
·      Pasal 2 mengenai Jati diri Tentara Nasional Indonesia
·      Pasal 39 mengenai larangan anggota TNI terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik dan mengikuti kegiatan politik praktis

     Dari undang-undang diatas dapat ditarik kesimpulan dengan tegas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di pimpin oleh Presiden yang dianggap sebagai Panglima tertinggi sangat menuntut netralitas Tentara Nasional Indonesia. Tidak hanya TNI, penegak hukum lainnya juga sangat dilarang keras untuk memihak atau masuk ke dunia politik. Dikarenakan dimana kita tahu, dunia politik sangat berkaitan erat dengan yang namanya kepentingan, bagaimana bisa TNI dan penegak hukum lainnya menjalankan tugas dengan baik dan maksimal jika langkah mereka dalam menegakkan hukum dibayang-bayangi oleh banyak kepentingan. Dan jika itu terjadi kekacauan pun bisa terjadi di Indonesia, stabilitas keamanan nasional terancam dan dampak negatif lainnya.

Keterlibatan Anggota TNI maupun Purnawiran TNI di dalam Jabatan Politik

     Keterlibatan figur militer dalam kontestasi politik, tidak hanya melemahkan TNI dalam upaya reformasi internal menuju TNI profesional yang tidak berbisnis dan tidak berpolitik. Selain itu pertarungan dalam politik selalu membawa implikasi negatif bagi citra TNI secara institusi, sehingga upaya sungguh-sungguh dari TNI secara institusional ternodai oleh ambisi politik segelintir anggota TNI. Hal ini juga memberi gambaran bahwa soliditas dan rantai komando TNI belum berjalan baik. 

      Ada beberapa hal yang mengkhawatirkan jika anggota aktif TNI maupun purnawirawan yang masih memiliki pengaruh ikut dalam kontestasi politik, pertama, membuka jalan terjadinya perpecahan atau dalam bahasa yang lebih lunak terjadi fragmentasi di tubuh internal TNI. Sejak awal almarhum Munir sudah mengembangkan sebuah tesis yang mengisyaratkan bahwa perpecahan di internal militer bisa merembet ke wilayah publik dan akhirnya rakyat sipil yang menjadi korban: “Pertarungan dan keterlibatan militer dalam politik telah melahirkan berbagai bentuk konflik yang mengancam kehidupan masyarakat secara keseluruhan”

      Munir menambahkan beberapa bukti ketika terjadi pertikaian antara Jenderal Soemitro dengan Letjen Ali Moertopo pada tahun 1974 membuahkan peristiwa Malari yang menyeret arus demonstrasi dan ujungnya adalah penembakan massa demonstran. Demikian pula dengan kasus Talangsari (1989) dan Tanjung Priok (1984) yang menelan korban jiwa masyarakat sipil, juga diakibatkan oleh ambisi beberapa petinggi militer untuk menunjukkan usahanya masing-masing dalam meredam gerakan Islam politik pada saat itu, dengan satu tujuan mencari posisi terdekat pada Soeharto. Peristiwa 27 Juli 1996, penyerangan kantor PDI juga tidak lepas dari dukungan militer kepada Siti Hardiati Rukmana (Golkar) putri Soeharto. Perpecahan militer menjelang jatuhnya Soeharto juga menjadi sebab penculikan aktivis 1997-1998 dan tragedi Mei di Jakarta. Semua ini cukup untuk menjadi alasan kekhawatiran jika TNI ataupun anggotanya secara individu ikut dalam kontestasi politik nasional.

      Kedua, alasan yang paling sering dilontarkan adalah, jika TNI masih sibuk dengan urusan politik maka ini akan menjauhkan TNI dari tugas pokoknya sebagai alat pertahanan negara. Kader-kader terbaik TNI yang harusnya bisa dimanfaatkan dalam upaya profesionalisme TNI akan banyak tersedot ke wilayah politik. Kasus yang paling mengejutkan adalah ditunjuknya Mayjen Andi Tanribali Lamo sebagai pejabat sementara Gubernur Sulawesi Selatan. Penunjukan ini mengejutkan, hanya karena tertundanya keputusan hasil Pemilihan Gubernur dan terjadinya kekosongan jabatan Gubernur, maka Mayjen Tanribali yang pada saat itu menjabat sebagai Asisten Personalia Mabes TNI AD harus pensiun dini dan di mutasikan ke Departemen Dalam Negeri. Pelajaran yang bisa diambil adalah, hanya untuk kepentingan politik sesaat, hanya untuk posisi pejabat sementara gubernur, seorang Mayjen TNI yang punya posisi penting bisa dialihtugaskan dengan mudah. Padahal tenaga dan kemampuan teknis seorang Asisten Personalia pastilah sangat dibutuhkan TNI AD pada saat itu.

    Ketiga, kemungkinan penyalahgunaan status militer dalam proses memenangkan pertarungan politik masih sangat mungkin terjadi. Kita tentu masih ingat  kasus mobilisasi suara di pondok pesantren Al-Zaitun, Indramayu pada pemilu 2004 lalu yang diduga melibatkan aparat TNI. Selain itu ketika Pilkada Bupati di Kabupaten Aceh Barat Propinsi NAD, Misi Pemantauan Pilkada Uni Eropa melihat dan mengambil gambar dari personil TNI yang sedang mengumpulkan materi-materi pilkada setelah ditutupnya tempat pemungutan suara di kecamatan Samatiga, Aceh Barat. Peristiwa lain pada 26 Februari di kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat, dimana pimpinan militer daerah mengundang semua kepala daerah ke sebuah pertemuan dan menganjurkan “bagaimana cara untuk tidakmemilih”.   Fakta-fakta tersebut menunjukkan bagaimana rentannya keterlibatan TNI dalam politik, kesalahan segelintir personel TNI bisa merusak citra TNI sebagai institusi.

     Keempat, sebagai warga negara, personel TNI harusnya terintegrasi dalam sistem politik nasional melalui hak untuk memilih dalam pemilu. Jika TNI menjadi unsur yang terasing dari proses demokrasi di Indonesia maka TNI juga akan menjadi unsur yang terlepas dari sistem negara, dan ini memberi jalan bagi TNI untuk mengulang praktek intervensi politik melalui paradigma lama dimana TNI sebagai aktor soliter dari sistem negara, TNI merasa menjadi aktor penjaga kepentingan nasional yang bertanggungjawab untuk melakukan intervensi jika pemerintahan sipil dianggap lemah . Menurut catatan KontraS ada dua pernyataan pejabat TNI dalam pilkada yang mengarah ke kecenderungan tersebut, yakni terkait dengan pelaksanaan empat pilkada kabupaten/kota di Sumatera Barat, Danrem 032/Wirabraja menyatakan “Meskipun, kewenangan kelancaran Pilkada ada di tangan Polri, namun jika telah menggangu stabilitas keamanan dan ketertiban hingga malah merongrong stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka TNI akan turun tangan. Kita paham dengan pembagian kerja dari masing-masing pihak. Jika menyangkut dengan masyarakat seperti Pilkada, itu merupakan bagian dari polisi. Dan TNI tidak ada sangkut-pautnya dengan itu. Tapi jika kemudian Pilkada ricuh dan malah menggangu stabilitas NKRI, jelas kita akan tampil ke depan”.  Hal senada juga diucapkan oleh Dandim 0812 Letkol (Kav) Agus Budiyanto, “Jika pilkada di Lamongan berlangsung tidak damai, TNI akan mengambilalih dengan memberlakukan darurat militer.”  Paradigma seperti ini sungguh mengkhawatirkan proses demokratisasi di Indonesia, terlebih lagi hal senada juga termaktub dalam Buku Putih Pertahanan 2008 sebagaimana yang sudah dibahas pada bab 2 dalam laporan ini. Sehingga memang dibutuhkan sebuah mekanisme yang mengatur dengan jelas hubungan sipil-militer di Indonesia, termasuk bagimana mengintegrasikan TNI ke dalam proses politik nasional, tanpa harus menyeret TNI ke dalam kontestasi politik praktis.

    Empat kekhawatiran di atas memang membutuhkan pembahasan mendalam yang melibatkan banyak pihak, selain itu TNI dituntut untuk menahan diri dari godaan-godaan politik, serta di sisi lain partai politik diminta untuk bekerja serius mencetak kader-kader politisi sipil yang kompetitif dan berkualitas sehingga tidak lagi menarik-narik figur militer untuk masuk ke panggung politik nasional. Kita mungkin bisa belajar banyak dari konsep “citizen in uniform” yang dipraktekkan di Jerman, dimana seorang personel militer tidak kehilangan hak politiknya termasuk hak asasi manusianya, namun di sisi lain seorang personel militer tidak diperkenankan untuk ikut dalam pemilu selama masih berstatus militer


Rekomendasi

      Dengan adanya reformasi TNI ini diharapkan tercapainya militer yang profesional, hal ini ditandai ketika pasca Orde Baru dimana kepolisian memisahkan diri dari ABRI. Tanggung Jawab mereformasi tubuh TNI diikuti dengan gerakan kembalinya militer ke barak, yang menandakan era militer dalam politik sudah ditinggalkan. Tidak ada lagi pemberian jatah kursi khusus di legislatif untuk militer, tidak ada lagi hak istimewa. Militer hanyalah orang biasa yang direkrut oleh negara, dilatih dan dipersenjatai untuk menjaga kehormatan bangsa dan negara.
   
    Perubahan lainnya adalah sikap dan tindakan militer yang semula mengutamakan paradigman lama, keamanan menjadi pendekatan komperhensif. Hal ini telah terjadi di Pemerintahan ini, dimana pemerintah tidak lagi memberikan kursi khusus militer, semua yang terlibat dalam kegiatan politik harus bersih dari Militer. Fakta fakta menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan dimana dahulu pada masa era orde baru, Militer memiliki kekuasaan penuh dimana ia menjabat sebagai tentara negara serta menjadi pimpinan daerah. Hal itu sangatlah berbeda dengan sekarang dimana untuk menjadi gubernur, seorang militer pun harus berhenti dari karirnya sebagai militer untuk ikut dalam kegiatan politik di Indonesia. Seperti contoh dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Mayor Tni Agus Yudhoyono harus merelakan karirnya di TNI demi terlibat langsung dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2016 sebagai calon Gubernur. Hal merupakan salah satu cara dalam membantu tercapainya militer yang profesional. Hal hal seperti sebaiknya masih tetap dilaksanakan guna tercapainya militer yang profesional. Militer yang kembali melaksanakan tupoksi sebagaimana mestinya.

       Selain itu perlu diingat dimana dahulu Militer dalam hal ini ABRI pernah ikut berperan dalam sistem politik Indonesia, yakni dalam salah satu unsur dalam Trias Politica. Dimana dahulu Militer berperan aktif dalam legislatif, sekalipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, namun dahulu mereka memiliki wakil dalam jumlah besar di DPR dan MPR. Militer sebagai pelaksana fungsi sosial di lembaga perwakilan rakyat. Mereka mendapatkan kursi dalam legislatif tanpa harus mengikuti pemilihan umum, hal ini merupakan strategi pemerintah untuk mengamankan dan melegalisasi secara formal kebijakan pemerintah yang diusulkan dahulu.

     Fakta fakta tersebut telah berbeda dengan fakta yang ada sekarang, dimana sejak reformasi TNI, tidak ada lagi kursi khusus Militer di sistem politik Indonesia. Semua orang dianggap sama, militer hanyalah masyarakat yang sama hanya berbeda tugasnya. Seperti yang kita ketahui adanya reformasi Militer bertujuan untuk tercapainya militer profesional. Sehingga pemerintah tidak lagi memberikan kursi khusus kepada militer. Selain itu juga fakta fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin mengembalikan sistem politik sekaligus hubungan militer dan politik sebagaimana mestinya tanpa campur tangan khusus. Diharapkan pemerintah akan tetap melaksanakan kegiatan politik sebagaimana mestinya tanpa ada campur tangan dan intervensi dari kelompok manapun termasuk Militer.




IV.   KESIMPULAN

        Gelombang reformasi Mei 1998 memaksa ABRI mengadakan perubahan internal dalam organisasi hingga paradigmanya yang disebut sebagai Reformasi TNI. Masuk tahun ke 18 reformasi TNI tersebut masih terdapat kekurangan walapun telah banyak perubahan di internal TNI tersebut. Kekurangan tersebut masih perlu ditutupi dengan pengoptimalan Reformasi TNI kembali. Sehingga TNI menjadi seperti yang diamanatkan reformasi yakni menjadi TNI yang Profesional. Maka dari diperlukan kerjasama seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat dalam menyukseskan reformasi TNI sesuai yang diamanatkan oleh reformasi.

REFERENSI
Budiadjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Henry B. Mayo. 1960.  An Introduction to Democratic Theory. New York: University Press
Isjwara, F. 1964. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Dwintara
Surbakri, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo



Senin, 07 November 2016

Kasus Kebakaran Hutan untuk Membuka Lahan

Kasus Kebakaran Hutan untuk Membuka Lahan
Studi Kasus : Kebakaran Hutan Gambut Di Provinsi Riau


      I.            Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara beriklim tropis yang banyak memiliki hutan sebagai penghasil Oksigen bagi Bumi. Indonesia dapat disebut sebagai paru – paru dunia karena oksigen yang dihasilkan oleh hutan di Indonesia mencapai 30% oksigen di dunia. Maka sangat penting bagi Indonesia untuk melindungi hutan yang ada di Indonesia. Pentingnya hutan di Indonesia membuat pemerintah harus melindungi hutan dengan maksimal karena rusaknya hutan di Indonesia akan berakibat rusaknya  ekosistem di dunia.
Pada tiap tahun selalu terjadi kebakaran hutan di berbagai provinsi Indonesia. Hal ini membuat kita cukup prihatin dengan bencana ini. Dengan menghilangnya hektar demi hektar Indonesia maka akan hilang juga penghasil oksigen di bumi. Selain itu negara ini turut dirugikan Triliyunan rupiah karena kebakaran hutan. Kerugian tersebut akibat hilangnya material yang ada dalam hutan tersebut.
Hal yang berbahaya dari kebakaran hutan yaitu ketika tejadi kebakaran hutan sangat sulit untuk dihentikan. Apa lagi dengan alat pemadam kebakaran yang sangat terbatas membuat kebakaran hutan bukanlah hal yang mudah untuk di tanggulangi. Kurangnya peralatan yang modern dalam memadamkan api membuat terhambatnya pemadaman ketika terjadinya kebakaran hutan. Setidaknya jika terjadi pembakaran hutan maka perlu waktu berhari-hari untuk menghentikan kebakaran hutan itu. Maka sangat penting bagi pemerintah dan aparat keamanan setempat untuk mencegah kebakaran hutan.
Ketika terjadi kebakaran hutan bukan saja ekosistem hutan yang hangus terbakar tetapi juga menimbulkan asap yang berbahaya bagi kesehatan. Asap akibat kebakaran hutan dapat menyebabkan gangguan pernafasan sampai kanker paru-paru. Belum lagi jika asap kebakaran hutan yang semakin tebal dapat menggangu penerbangan pesawat terbang sehingga dikeluarkannya perintah larangan terbang ketika terjadi kebakaran hutan karena batas pandang yang semakin mengecil dan membahayakan pesawat. Asap dari kebakaran hutan juga mengganggu aktivitas negara tetangga Indonesia seperti Singapore dan Malaysia. Sering sekali negara tetangga Indonesia juga menjadi korban akibat kebakaran hutan di Indonesia.
Dengan Undang-Undang yang telah terbentuk bahwa pembakaran hutan merupakan suatu tindak pidana dan mengancam pelakunya mendapatkan sanksi maka aparat keamanan setempat harus berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah dan menangkap para pelaku pembakaran hutan. Tidak hanya melakukan penangkapan tetapi juga memberikan hukuman yang seberat mugkin agar memberikan rasa jera bagi pelaku sehingga tidak ada lagi yang melakukan pembakaran hutan.

   II.            Rumusan Masalah

1.       Mengapa kebakaran hutan ini terjadi?
2.        Siapa pelaku pembakaran hutan?
3.       Apa dasar hukum perlindungan hutan?
4.       Bagaimana cara mencegah kebakaran hutan?
5.       Dampak akibat kebakaran hutan?

III.            Studi Kasus
Kebakaran selama lebih dari satu pekan telah melahap lahan gambut seluas sedikitnya 30 hektare di Desa Pangkalan Terap, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Sejak saat itu upaya pemadaman dilakukan dengan mengerahkan karyawan PT Sumber Sawit Sejahtera (PT SSS) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Selain dari perusahaan dan masyarakat, BNPB Riau menurunkan satu unit helikopter Air Tractor ke lokasi kebakaran untuk mempercepat pemadaman api. Kebakaran di Pelalawan, Riau, melahap sekitar 30 hektare lahan gambut.
Pada Maret lalu, kebakaran hutan dan lahan melanda sebagian wilayah Provinsi Riau sehingga pemerintah setempat menetapkan status siaga darurat dan berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, jumlah titik api di Sumatra per Jumat (17/06) nihil. Adapun di Kalimantan, jumlah titik api berada di 15 lokasi. Selama dua hari pertama bulan Juli 2016, titik panas di Pulau Sumatera, terutama Provinsi Riau, melonjak drastis akibat kebakaran hutan dan lahan di sejumlah kabupaten yang diduga disengaja.
Data satelit badan kelautan dan atmosfer Amerika Serikat (NOAA) menunjukkan terdapat dua titik panas di Sumatera pada Rabu (29/07). Hari berikutnya meningkat menjadi 17 titik. Kemudian, pada Jumat (01/07), titik panas telah mencapai 27 buah, 15 di antaranya berada di Riau. Tren ini sejalan dengan temuan di lapangan. Komandan Satgas Udara Riau, Marsekal Pertama Hendri Alfiandi, mengatakan pihaknya melihat peningkatan kebakaran selama satu pekan terakhir, bersamaan dengan awal musim kemarau. Dia menduga kebakaran itu merupakan ulah manusia.
“Di Kabupaten Rokan Hilir, penerbang TNI AU melihat dua orang membawa obor, sengaja membakar lahan. Namun, saat itu pesawat tidak mengangkut pasukan. Besok akan kami cari pelakunya dan bawa ke polisi,” kata Marsma Hendri kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan. Secara terpisah, Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Wieko Sofyan mengatakan satu kompi Pasukan Khas sengaja diturunkan untuk membantu upaya pemadaman api di Riau. Pasukan tersebut akan bekerja sama dengan kepolisian Riau untuk memburu pelaku pembakaran.
Berdasarkan data sementara, Kepala Badan Penanggulangan bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Edward Sanger, mengatakan jumlah lahan yang mengalami kebakaran di Riau mencapai 1.076 hektare. “Jumlah itu jauh lebih rendah daripada dua tahun sebelumnya. Kalau 2014, pada bulan yang sama, sudah 23.000 hektare. Tahun lalu, juga pada bulan Juli, hampir 6.000 hektare dilanda kebakaran,” kata Edward. “Seperti kemarin ada katanya 31 titik panas. Dari jumlah itu, yang tingkatconfidence-nya di atas 70% ada enam hingga tujuh titik. Kita periksa di lapangan,nggak ada,” ujar Edward.

IV.            Analisa

·        Faktor Penyebab kebakaran hutan
Kebakaran hutan dapat terjadi karena adanya 2 faktor, pertama karena faktor alam dan faktor manusia. Pada faktor alam ini disebabkan karena iklim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan hutan menjadi tandus dan kering sehingga timbul api kecil yang kemudian menjadi besar sehingga terjadilah kebakaran hutan. Sambaran petir juga dapat menimbulkan kebakaran hutan karena petir dapat membakar sesuatu yang disambarnya. Selain itu adanya Ground Fire yang menjadi akibat kebakaran hutan yaitu karena lahan gambut yang mudah terbakar.
Selain faktor alam terdapat pula faktor manusia yang sering menimbulkan kebakaran hutan. Manusia memiliki sifat egois karena mengutamakan keuntungan. Dengan membakar hutan ini maka beban operasional untuk membuka hutan dapat ditekan sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih banyak. Selain itu juga kebakaran hutan juga dapat disebabkan karena kelalaian manusia seperti membuang puntung rokok yang masih terbakar, tidak mematikan api unggun, dan meletakkan barang yang mudah terbakar sembarangan. Faktor manuasia ini adalah penyebab paling banyak terjadinya kebakaran hutan, maka dari itu pentingnya pengawasan terhadap masusia agar mengurangi kebakaran hutan.

·        Pelaku Penyebab Kebakaran Hutan
Indonesia merupakan negara penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia. Hal ini karena banyaknya permintaan CPO di Indonesia oleh pasar internasional. Pada tahun 2015 Indonesia produksi CPO di Indonesia sampai 62 Juta Ton dengan luas perkebunan mencapai 19 Juta Ha. Dengan permintaan yang banyak maka para pengusaha CPO di Indonesia melakukan ekspasi kebun kelapa sawit di berbagai daerah Indonesia untuk memenuhi permintaan CPO oleh pasar internasional. Dengan bertambahnya kebun kelapa sawit maka akan bertambah pula keuntumngan yang diterima pera pengusaha. Bertambahnya lahan perkebunan ini berakibat pada banyaknya pohon di hutan dikorbankan.
Perlu kita ketahui bahwa banyak perusahaan nakal yang ngegunakan cara tidak sehat dalam membuka lahan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, hal ini merka lakukan untuk meminimalisir biaya operasional untuk membuka lahan tersebut karena dibutuhkan biaya yang cukup mahal untuk membuka hutan untuk dijadikan lahan perkebunan. Maka dari itu mereka mambakar hutan agar tidak perlu mengeluarkan biaya operasional untuk membuka hutan karena jika dibakar maka akan dengan sendirinya hutan tersebut terbuka. Selain untuk perkebunan kelapa sawit masih banyak lagi para pengusaha perkebunan membuka lahan dengan cara yang melanggar peraturan.
Kelemahan membuka hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit dengan dibakar ini yaitu api yang membakar sulit untuk dikendalikan bahkan tidak bisa dikendalikan. Ketika api tersebut tidak bisa dikendalikan maka kebakaran tersebut akan meluas ke daerah yang lainnnya. Hal ini akan merugikan negara sebab terbakarnya aset negara berupa hutan. Peristiwa ini jika terus menerus terus terulang akan berakibat pada masa depan bangsa.
Kasus kebakaran hutan akibat pembukaan lahan kelapa sawit ini adalah sebuah kejahatan. Menurut kriminologi sendiri kejahatan adalah norma tingkah laku yang tidak disukai oleh masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan dan memuaskan nafsunya, manusia seringkali tidak peduli dengan kepentingan orang lain. Kejahatan yang dimaksud dalam kasus ini merupakan kejahatan terhadap lingkungan. Hal ini karena korban yang ditimbulkan dari aksi kejahatan ini adalah lingkungan, dimana lingkungan menjadi rusak akibat dari kebakaran hutan ini.

·        Dasar Hukum Perlindungan Hutan
Kejahatan terhadap lingkungan ini terjadi karena adanya pelanggaran. Pelanggaran yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Peraturan terhadap perlindungan hutan ini sudah dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah no.4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. Selain itu dalam pasal 11 PP no:4 tahun 2001 dijelaskan bahwa Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan. Sedangkan pelaku pembakar hutan Diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 UU no.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup “Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Selain itu terdapat  hak, kewajian, dan peran masyarakat dalam melindungi hutan dari berbagai ancaman yang tercantum pada pasal 5-7 UU no.23 tahun 1997. Adapun isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 5
1.       Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2.       Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3.       Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6
1.       Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
2.       Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 7
1.       Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
2.       Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:

a.       Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
b.       Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
c.       Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
d.       Memberikan saran pendapat;
e.       Menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

·        Reaksi Sosial Masyarakat dan Pemerintah dalam Mencegah Kebakaran Hutan
Dalam mencegah kebakaran hutan ini perlu adanya kerja sama yang kuat antara pemerintah dengan masyarakat, sebab masalah kebakaran hutan ini merupakan masalah yang kompleks dimana banyak pelaku yang bersembunyi dibalik kekebalan tangan pejabat maupun aparat keamanan. Maka dari itupencegahan dari masalah kebakaran hutan ini juga sulit dilakukan. Masyarakat dan Pemerintah memiliki reaksi sosial yang berbeda beda dalam mencegah masalah kebakaran hutan ini. Adapun reaksi sosial tersebut atara lain
1.       Reaksi Sosial Masyarakat
Masyarakat mempunyai peran yang mandiri dalam masalah kebakaran ini. Mereka harus mengontrol segala bentuk aktivitas yang dilakukan oleh mereka itu sendiri. Reaksi dari masyarakat ini merupakan reaksi non-formal yang bentuk tindakan yg dilaksanakan masyarakat sendiri tanpa melalui lembaga formal dalam sistem peradilan pidana. Bentuk reaksi ini berupa eksekusi ilegal, dan penghakiman terhadap pelaku, peningkatan keamanan di hutan, dan membuat strategi pencegahan kebakaran hutan.
Bentuk reaksi dari masyarakat ini masyarakat ini termasuk melanggar hukum. Hal ini karena masyarakat bertindak berdasarkan emosi bukan berdasarkan dengan hukum yang mengadili pelaku dengan seadil adilnya hukum itu berlaku. Namun reaksi sosial masyarakat ini juga mempunyai kelebihan yaitu lebih responsif dalam menangani masalah ini. Selain itu juga efek jera dari pelaku lebih mengena karena tindakan yang diberikan oleh masyarakat sangat agresif.
2.       Reaksi Sosial Pemerintah
Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas kebakaran hutan ini karena pemerintah memiliki fungsi perlindungan terhadap hutan. Bentuk reaksi dari pemerintah yaitu bentuk tindakan yg dilaksanakan oleh lembaga yg dibentuk secara formal untuk menanggulangi kejahatan. Lembaga yang telah dibentuk untuk mencegah masalah kebakaran hutan ini yaitu Polri, TNI, Pemadam Kebakaran, BNPB, dll. Pemerintah juga telah membentuk kementrian hutanan guna melindungi, mengelola, dan memelihara hutan yang ada di indonesia.
Bentuk pengendalian sosial pemerintah sendiri berupa penindakan kepada pelaku, mencegah hutan terus menerus di eksplorasi, menyelesaikan kasus kebakaran hutan sehingga masyarakat tahu bahwa keadilan sudah ditegakkan, dan mengusahakan agar orang yang pernah melakukan kejahatan tidak melakukan kejahatan itu kembali (residivis). Kelebihan dari reaksi pemerintah ini yaitu dapat mengusut kasus secara tuntas dan mengendalikan potensi ancaman yang dapat menggagu hutan. Sedangkan kelemahannya yaitu seringnya lembaga pemerintah kecolongan dalam mengantisipasi ancaman, selain itu juga ada pejabat pemerintahan dan aparat keamanan yang melindungi para pelaku pembakaran hutan karena terdapat kepentingan antara pelaku dengan mereka.
·        Dampak Akibat dari Kebakaran Hutan
Banyaknya penebangan hutan yang terjadi membuat hutan semakin gundul. Dengan gundulnya hutan ini membuat pemanasan global semakin berkembang. Menurut penelitian yang dimuat dalam jurnal Nature Climate Change Indonesia kehilangan hutan sekitar 0,4 Juta hektar pertahun. Menghilangnya hutan akibat terbakar karena pembukaan lahan berdampak pada peningkatan suhu global. Hal ini disebabkan karena dengan membakar lahan gambut untuk membersihkan jalanan, akan melepaskan karbon dan metana ke atosfer dan mempengarui suhu bumi secara keseluruhan.
Selain menyimpan gas penyebab pemanasan global, hutan Indonesia merupakan lahan utama dalam keanekaragaman hayati. Hutan-hutan ini diperkirakan mengandung 10 persen tanaman, 12 persen mamalia, dan 17 persen spesies burung di seluruh dunia. Jadi dengan menghilangnya hutan di Indonesia maka turut hilang pula flora dan fauna yang ada di dalam hutan tersebut.
Dengan terbakarnya hutan membuat hutan menjadi tandus dan tidak dapat menyerap air kembali. Dengan hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap air maka akan mengakibatkan kekeringan, rawan longsor, dan banjir. Berlunya reboisasi hutan hutan yang telah rusak karena terbakar maupun karena pembalakan liar.
  V.            Kesimpulan dan Saran

Kebakaran hutan dapat disebabkan karena 2 faktor yaitu faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam dipengaruhi oleh kondisi cuacah, sedangkan faktor manusia dipengaruhi oleh kecerobohan atau kesengajaan manusia untuk membakar hutan. Kebakaran hutan yang terjadi karena ulah manusia disebabkan karena dengan membakar hutan kelompok tertentu akan diuntungkan. Dengan meningkatnya prospek CPO yang meningkat maka akan meningkat pula keuntungan yang diperoleh para pengusaha perkebunan kelapa sawit. Dengan meningkatnya keuntungan pengusaha tersebut maka mereka akan terus mengekspansi perkebunan mereka dengan begitu makin banyaknya hutan yang dikorbankan. Terdapat beberapa dasar hukum  perlindungan hutan diantaranya yaitu Peraturan Pemerintah no.4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup dan 41 UU no.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dasar hukum ini dengan jelas melarang segala bentuk tindakan pengerusakan hutan dan memberikan sanksi bagi pelaku pengerusakan hutan. Dari dasar hukum tersebut munculah reaksi sosial dari masyarakat dan pemerintah guna mencega, melindungi, dan menanggulangi masalah kebakaran hutan. Reaksi sosial tersebut berupa reaksi sosial formal dan non-formal. Diharapkan dengan reaksi sosial tersebut dapat meminimalisir kerusakan dan dampak negatif dari kebakaran hutan dan kerusakan lahan. 

SEKILAS tentang PT Telekomunikasi

Sektor-sektor yang paling menarik perhatian para fund manager internasional yang aktif berinvestasi di luar negeri, termasuk Indonesia, adal...