I.
LATAR
BELAKANG
Reformasi TNI merupakan
respon kalangan TNI terhadap desakan publik terhadap penghapusan peran politik
dan ekonomi TNI serta akuntabilitas atas pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) yang dilakukan sebelum 1998. Tuntutan reformasi tersebut berujung
pada jatuhnya pemerintahan Rezim Orde Baru. Secara umum, tuntutan gerakan
masyarakat dalam reformasi di sektor keamanan berupa transformasi
kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi keamanan negara dari sistem lama
yang otoriter menuju sistem baru yang demokratis. Sehingga aktor-aktor keamanan
(termasuk TNI) menjadi institusi profesional, menjadi subjek dari supremasi
pemerintahan sipil, akuntabel serta menghormati HAM.
Sektor keamanan yang
dimaksud di atas adalah seluruh institusi yang memiliki otoritas untuk
menggunakan atau mengerahkan kekuatan fisik atau ancaman penggunaan kekuatan
fisik dalam rangka melindungi negara dan warga negara. Dalam definisi ini
termasuk TNI dan Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia), maupun segenap institusi
sipil yang bertanggungjawab dalam pengelolaan dan peng-awasannya, seperti
Presiden, Departemen Pertahanan dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Reformasi
TNI merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan, yaitu reformasi kolektif
intra-institusional.
Sebagai alat negara di
bidang pertahanan dan keamanan, TNI kini hanya menjalankan tugasnya berdasarkan
kebijakan politik negara yang ditetapkan presiden dan bukan politik kekuasaan
partai politik pengusung presiden. TNI setia dan patuh kepada presiden sebagai
Panglima Tertinggi TNI sepanjang presiden juga taat konstitusi. Keterlibatan TNI dalam politik praktis kini
hanya barisan purnawiran. Sementara keterlibatan TNI aktif, meskipun masih
sayup terdengar, sudah haram hukumnya. TNI kini lebih menyadari bahwa
profesionalismenya sudah terbukti koyak manakala terjun ke politik praktis
sebagaimana masa lalunya.
Alasan kelompok kami memilih topik Reformasi TNI adalah
untuk memperkaya ilmu pengetahuan mengenai peran TNI di masa pra-reformasi
serta menunjukan dampak dari reformasi TNI di era sekarang. Selain itu
memperdalam maksud dan tujuan dari tuntutan adanya reformasi fungsi TNI.
Diharapkan dengan penulisan makalah ini pembaca dapat mengetahui lebih dalam
tentang bagaimana pengaruh reformasi TNI yang dahulunya sangat terkenal dengan
sistem otoriter menjadi umum. Dimana pembaca dapat mengetahui perjalanan
reformasi TNI yang powerful menjadi TNI yang proporsional.
II. Perspektif Demokrasi
Pada topik Reformasi
TNI ini kami menggunakan Perspektif Demokrasi yang bersumber dari buku
‘Dasar-Dasar Ilmu Polittik” oleh Prof. Miriam Budiardjo untuk menganalisa hal
hal yang akan kami bahas dalam makalah ini. Demokrasi berasal dari kata Yunani
yaitu demos dan kratos. Demos artinya rakyat dan kratos berarti pemerintahan. Demokrasi
menurut Lincoln adalah pemerintahan
rakyat, yaitu pemerintahan yang rakyatnya memegang peranan yang sangat
menentukan. Pengertian demokrasi secara harfiah adalah rakyat memerintah dengan
perantara wakil-wakilnya dan hak rakyat harus diperhatikan. Pemerintahan
demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Menurut Henry B. Mayo dalam buku Introduction to Democratic Theory Demokrasi
mempunyai nilai-nilai intrinsik yaitu:
1.
Penyelesaian perselisihan dengan damai dan
secara melembaga
2.
Terjaminnya perubahan-perubahan secara damai
dalam suatu masyarakat
3.
Penyelenggaraan pergantian kepepimpinan
(succession) secara teratur
4.
Pembatasan penggunaan kekerasan
5. Pengakuan terhadap adanya keanekaragaman dan
perbedaan sebagai fakta kehidupan manusia
6.
Terjaminnya keadilan melalui penegakan hukum
Selain itu menurut Sudarminta, dalam perannya terhadap
politik demokrasi memiliki hakikat yang terdiri dari:
1. Persetujuan
(concent) rakyat
2. Partisipasi
efektif rakyat dalam pembuatan keputusan politik
3. Persamaan
kedudukan di depan hukum
4. Kebebasan
individu menentukan diri
5. Penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia
6. Mekanisme
kontrol sosial terhadap Pemerintah
7. Ketersediaan
dan keterbukaan informasi
Demokrasi terdiri dari
beberapa macam, di Indonesia sendiri telah terjadi pergantian beberapa model demokrasi. Pada saat ini
indonesia menerapkan sistem demokrasi konstitusional. Pada sistem demokrasi
konstitusional ini terdapat beberapa point penting dalam penerapannya
yaitu Aturan dasar demokrasi
konstitusional tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut
Pemerintah berdasarkan konstitusi (constitutional government). Ciri khas
demokrasi konstitusional (DM) adalah gagasan bahwa pemerintahan yang dibatasi
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenangnya terhadap warga
negaranya. Dengan adanya demokrasi konstitusional ini diharapkan bahwa
Reformasi TNI akan berjalan dengan sesuai dengan keinginan rakyat.
Sepanjang rezim Orde
Baru sipil selalu berada di bawah tekanan supremasi militer, kondisi semacam
itu berjalan mulus walaupun bukan berarti tanpa kritik. Keseluruhan reformasi
TNI diarahkan pada terwujudnya supremasi sipil sebagai kondisi nyata
bergesernya otoritas kekuatan sosial baru.
III. ANALISA
Militer
dan Politik Elektoral
KontraS mencatat, pasca 2004 banyak anggota TNI, baik
purnawirawan maupun yang masih aktif ikut dalam pertarungan pemilihan kepala
daerah (pilkada). Meskipun jauhjauh hari Panglima TNI yang waktu itu dijabat
oleh Jenderal Endriartono Sutarto sudah memperingatkan mengenai netralitas TNI
dalam pilkada, serta tidak diperkenankannya anggota TNI aktif untuk ikut
mencalonkan diri, namun kembali fakta di lapangan berkata lain, beberapa
anggota TNI aktif tetap tergoda untuk ikut bertarung berebut kursi
gubernur/wakil gubernur ataupun walikota/bupati. Fenomena ini sebenarnya
disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, persoalan regulasi politik yang memang
masih memberi peluang bagi anggota aktif TNI untuk ikut mencalonkan diri dalam
pemilihan umum. Walaupun dalam UU TNI Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan,
setiap prajurit (anggota TNI aktif) dilarang untuk dipilih menjadi anggota
legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya, UU Pemilihan Umum masih
memberi celah tersebut. Anggota TNI aktif boleh mencalonkan diri sebagai calon
dalam Pemilu dengan syarat harus berstatus non aktif yang bersifat sementara,
jika terpilih baru kemudian diberhentikan/pensiun dini. Celah inilah yang
membuat TNI secara institusional tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada
anggotanya yang berniat untuk ikut bertarung dalam pemilihan umum.
Kedua, tentu persoalan paradigma juga masih merupakan
masalah pokok. Sejak proses reformasi 1998, TNI gagal untuk meredefinisikan
atau merevitalisasi paradigma mengenai “TNI adalah tentara rakyat” yang lahir
dari rakyat dan bersama rakyat. Paradigma ini cenderung mengaburkan hubungan
sipil militer dalam sistem negara, sehingga dengan berbekal paradigma itu, TNI
selain berperan dalam pertahanan negara juga harus memiliki peran di wilayah
publik seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kegagalan meredefinisikan
paradigma ini, membawa figur-figur militer masih terus tergoda untuk masuk ke
wilayah publik, contoh nyatanya adalah pilkada. Celakanya kegagalan
paradigmatik ini diikuti dengan tumpulnya analisa politik dari kalangan militer
dalam membaca perubahan, peluang politik yang ditawarkan partai politik tidak
seiring dengan kesadaran dan minat pemilih. Hal ini dibuktikan dengan
tumbangnya beberapa figur militer di beberapa pilkada. Contohnya adalah
gagalnya Tayo Tahmadi di Jawa Barat yang disusul kalahnya Agum Gumelar pada
pemilihan Gubernur selanjutnya di Jawa Barat. Hal yang sama dialami Tritamtomo
di Jawa Timur, disusul Letkol (Bais) Didi Sunardi di Serang Banten, dan Kolonel
(Inf) DJ Nachrowi di Ogan Ilir Sumatera Selatan. Belum lagi pertarungan dua
Jenderal purnawirawan yakni Letjend TNI (Purn) Bibit Waluyo dan Mayjen TNI
(Purn) Agus Suyitno di Jawa Tengah. Kekalahankekalahan ini menunjukkan bahwa
pilihan rakyat tidak lagi menyandarkan pilihannya pada figur yang berlatar
belakang militer, sehingga sangat merugikan bagi TNI, jika melepaskan
kader-kader terbaiknya untuk bertarung dalam kontestasi pemilu. Tenaga dan
pikiran mereka akan berkontribusi lebih banyak jika fokus pada tugas pokok TNI
yang diamanatkan konstitusi kita sebagai alat pertahanan negara.
Ketiga, masalah lain berada di luar institusi TNI, yakni
lemahnya kapasitas politik sipil dalam hal kaderisasi internal partai. Frustasi
politik dalam mencetak kader yang berkualitas, selalu membuat partai masih
mencari-cari figur dari militer yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Dalam
hal ini figur militer selalu difasilitasi dan ditariktarik oleh partai untuk
masuk dalam kontestasi politik. Peluang ini jelas disambut baik oleh para figur
militer yang memang kebetulan punya ambisi politik namun peluang politiknya
tertutup oleh proses reformasi TNI yang memangkas tradisi politik TNI. Secara
institusi TNI juga tidak bisa berbuat banyak, karena peluang itu sah dan dibenarkan
oleh regulasi yang ada. Majunya calon berlatar belakang militer bisa dilihat
dari banyaknya purnawirawan Jenderal yang berminat untuk bertarung dalam
kontestasi pemilihan presiden 2009 maupun yang ikut dalam pengurus partai
politik. Sebut saja nama Sutiyoso (Koalisi Partai), Yunus Yosfiah (PPP), Budi
Harsono (Golkar), Marsda (purn) Ronggo Soenarso (PPD), Mayjen (purn) Syamsu
Djalal (PBR), Mayjen (purn) Cholid Ghozali (PBR), Mayjen (purn) Djalal Bachtiar
(PBR), Laks Madya (purn) Sumitro (PIB),
Wiranto (Hanura), HR Hartono Hartarto (PKPB), Prabowo Subianto
(Gerindra), Try Sutrisno bersama Edi Sudrajat (PKPI), dan Suaidy Marassabesy
(Hanura), serta Letjen (purn) Syahrir MS. (RepublikaN) dan lain-lain. Menurut
Kusnanto Anggoro, banyaknya purnawirwan TNI yang ikut ambil bagian dalam
panggung politik nasional juga merupakan fenomena yang menunjukkan bahwa
reformasi 1998 sama sekali tidak memutus secara tegas rezim militer dan sipil,
tidak seperti di Argentina .
TNI diwajibkan meninggalkan politik praktis,
dihilangkanya tugas kekaryaan (apabila bertugas di institusi sipil harus
mengajukan pensiun).
Pada masa orde baru
tahun 1998, banyak perwira TNI yang merangkap jabatan di pemerintahan. Dan
setelah adanya reformasi di tubuh TNI, sangat diharamkan bagi anggota TNI untuk
terlibat politik dan merangkap jabatan di pemerintahan. Namun jika anggota TNI
tersebut tetap ingin masuk ke dunia politik maka harus dihilangkannya tugas
kekaryaan, dimana tugas di institusi sipil maka harus mengundurkan diri
terlebih dahulu menjadi anggota TNI. Salah satu contohnya yang sekarang masih
menjadi sebuah pertanyaan yaitu Agus Yudhoyono yang merelakan karirnya yang
telah menjadi seorang “Mayor” demi melangkah di Pilgub DKI Jakarta 2017.
Meskipun
dilatarbelakangi dengan karir di TNI yang sukses dimana Agus merupakan salah
satu lulusan terbaik Akmil dan pernah juga melaksanakan pendidikan tentang
Kepemimpinan di luar negeri, namun dia harus tetap menerima resiko dengan
melepaskan seragam lorengnya ketika dia memilih untuk melangkah ke dunia
politik dengan ikut serta sebagai calon gubernur DKI Jakarta tahun 2017,
dikarenakan adanya reformasi TNI yang melarang para anggotanya untuk menjabat
di pemerintahan ketika masih aktif menjadi anggota TNI.
Dalam fakta ini,
jangankan mencalonkan diri untuk menjabat di pemerintahan seperti calon kepala
daerah, untuk mendukung salah satu pasangan calon saja merupakan sebuah
pelanggaran dan sangat dilarang. Contoh kasusnya Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada saat itu yang sedang menjabat mengemukakan adanya pihak-pihak
yang berniat untuk menarik TNI dan Polri untuk mendukung pasangan Capres dan
Cawapres tertentu dalam Pilpres 9 Juli. Dan menanggapi hal tersebut, Pimpinan
TNI pada saat itu langsung memastikan tidak ada perwira atau anggota TNI yang terindikasi
terlibat politik praktis dengan mendukung salah satu calon presiden dalam
pemilihan presiden pada 9 Juli. Larangan ini pun terdapat di dalam
undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) :
·
Pasal
2 mengenai Jati diri Tentara Nasional Indonesia
·
Pasal
39 mengenai larangan anggota TNI terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai
politik dan mengikuti kegiatan politik praktis
Dari undang-undang diatas dapat ditarik kesimpulan
dengan tegas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di pimpin oleh Presiden
yang dianggap sebagai Panglima tertinggi sangat menuntut netralitas Tentara
Nasional Indonesia. Tidak hanya TNI, penegak hukum lainnya juga sangat dilarang
keras untuk memihak atau masuk ke dunia politik. Dikarenakan dimana kita tahu,
dunia politik sangat berkaitan erat dengan yang namanya kepentingan, bagaimana
bisa TNI dan penegak hukum lainnya menjalankan tugas dengan baik dan maksimal
jika langkah mereka dalam menegakkan hukum dibayang-bayangi oleh banyak
kepentingan. Dan jika itu terjadi kekacauan pun bisa terjadi di Indonesia,
stabilitas keamanan nasional terancam dan dampak negatif lainnya.
Keterlibatan
Anggota TNI maupun Purnawiran TNI di dalam Jabatan Politik
Keterlibatan figur
militer dalam kontestasi politik, tidak hanya melemahkan TNI dalam upaya
reformasi internal menuju TNI profesional yang tidak berbisnis dan tidak
berpolitik. Selain itu pertarungan dalam politik selalu membawa implikasi
negatif bagi citra TNI secara institusi, sehingga upaya sungguh-sungguh dari
TNI secara institusional ternodai oleh ambisi politik segelintir anggota TNI.
Hal ini juga memberi gambaran bahwa soliditas dan rantai komando TNI belum
berjalan baik.
Ada beberapa hal yang mengkhawatirkan jika anggota
aktif TNI maupun purnawirawan yang masih memiliki pengaruh ikut dalam
kontestasi politik, pertama, membuka jalan terjadinya perpecahan atau dalam
bahasa yang lebih lunak terjadi fragmentasi di tubuh internal TNI. Sejak awal
almarhum Munir sudah mengembangkan sebuah tesis yang mengisyaratkan bahwa perpecahan di internal militer
bisa merembet ke wilayah publik dan akhirnya rakyat sipil yang menjadi korban:
“Pertarungan dan keterlibatan militer dalam politik telah melahirkan berbagai bentuk
konflik yang mengancam kehidupan masyarakat secara keseluruhan”
Munir menambahkan
beberapa bukti ketika terjadi pertikaian antara Jenderal Soemitro dengan Letjen
Ali Moertopo pada tahun 1974 membuahkan peristiwa Malari yang menyeret arus
demonstrasi dan ujungnya adalah penembakan massa demonstran. Demikian pula
dengan kasus Talangsari (1989) dan Tanjung Priok (1984) yang menelan korban
jiwa masyarakat sipil, juga diakibatkan oleh ambisi beberapa petinggi militer
untuk menunjukkan usahanya masing-masing dalam meredam gerakan Islam politik
pada saat itu, dengan satu tujuan mencari posisi terdekat pada Soeharto.
Peristiwa 27 Juli 1996, penyerangan kantor PDI juga tidak lepas dari dukungan
militer kepada Siti Hardiati Rukmana (Golkar) putri Soeharto. Perpecahan
militer menjelang jatuhnya Soeharto juga menjadi sebab penculikan aktivis
1997-1998 dan tragedi Mei di Jakarta. Semua ini cukup untuk menjadi alasan
kekhawatiran jika TNI ataupun anggotanya secara individu ikut dalam kontestasi
politik nasional.
Kedua, alasan yang
paling sering dilontarkan adalah, jika TNI masih sibuk dengan urusan politik
maka ini akan menjauhkan TNI dari tugas pokoknya sebagai alat pertahanan
negara. Kader-kader terbaik TNI yang harusnya bisa dimanfaatkan dalam upaya
profesionalisme TNI akan banyak tersedot ke wilayah politik. Kasus yang paling
mengejutkan adalah ditunjuknya Mayjen Andi Tanribali Lamo sebagai pejabat
sementara Gubernur Sulawesi Selatan. Penunjukan ini mengejutkan, hanya karena
tertundanya keputusan hasil Pemilihan Gubernur dan terjadinya kekosongan
jabatan Gubernur, maka Mayjen Tanribali yang pada saat itu menjabat sebagai
Asisten Personalia Mabes TNI AD harus pensiun dini dan di mutasikan ke
Departemen Dalam Negeri. Pelajaran yang bisa diambil adalah, hanya untuk kepentingan
politik sesaat, hanya untuk posisi pejabat sementara gubernur, seorang Mayjen
TNI yang punya posisi penting bisa dialihtugaskan dengan mudah. Padahal tenaga
dan kemampuan teknis seorang Asisten Personalia pastilah sangat dibutuhkan TNI
AD pada saat itu.
Ketiga, kemungkinan penyalahgunaan status militer
dalam proses memenangkan pertarungan politik masih sangat mungkin terjadi. Kita
tentu masih ingat kasus mobilisasi suara
di pondok pesantren Al-Zaitun, Indramayu pada pemilu 2004 lalu yang diduga
melibatkan aparat TNI. Selain itu ketika Pilkada Bupati di Kabupaten Aceh Barat
Propinsi NAD, Misi Pemantauan Pilkada Uni Eropa melihat dan mengambil gambar
dari personil TNI yang sedang mengumpulkan materi-materi pilkada setelah
ditutupnya tempat pemungutan suara di kecamatan Samatiga, Aceh Barat. Peristiwa
lain pada 26 Februari di kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat, dimana pimpinan
militer daerah mengundang semua kepala daerah ke sebuah pertemuan dan
menganjurkan “bagaimana cara untuk tidakmemilih”. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bagaimana
rentannya keterlibatan TNI dalam politik, kesalahan segelintir personel TNI
bisa merusak citra TNI sebagai institusi.
Keempat, sebagai warga negara, personel TNI harusnya
terintegrasi dalam sistem politik nasional melalui hak untuk memilih dalam
pemilu. Jika TNI menjadi unsur yang terasing dari proses demokrasi di Indonesia
maka TNI juga akan menjadi unsur yang terlepas dari sistem negara, dan ini
memberi jalan bagi TNI untuk mengulang praktek intervensi politik melalui
paradigma lama dimana TNI sebagai aktor soliter dari sistem negara, TNI merasa
menjadi aktor penjaga kepentingan nasional yang bertanggungjawab untuk
melakukan intervensi jika pemerintahan sipil dianggap lemah . Menurut catatan
KontraS ada dua pernyataan pejabat TNI dalam pilkada yang mengarah ke
kecenderungan tersebut, yakni terkait dengan pelaksanaan empat pilkada
kabupaten/kota di Sumatera Barat, Danrem 032/Wirabraja menyatakan “Meskipun,
kewenangan kelancaran Pilkada ada di tangan Polri, namun jika telah menggangu
stabilitas keamanan dan ketertiban hingga malah merongrong stabilitas Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka TNI akan turun tangan. Kita paham
dengan pembagian kerja dari masing-masing pihak. Jika menyangkut dengan
masyarakat seperti Pilkada, itu merupakan bagian dari polisi. Dan TNI tidak ada
sangkut-pautnya dengan itu. Tapi jika kemudian Pilkada ricuh dan malah
menggangu stabilitas NKRI, jelas kita akan tampil ke depan”. Hal senada juga diucapkan oleh Dandim 0812
Letkol (Kav) Agus Budiyanto, “Jika pilkada di Lamongan berlangsung tidak damai,
TNI akan mengambilalih dengan memberlakukan darurat militer.” Paradigma seperti ini sungguh mengkhawatirkan
proses demokratisasi di Indonesia, terlebih lagi hal senada juga termaktub dalam
Buku Putih Pertahanan 2008 sebagaimana yang sudah dibahas pada bab 2 dalam
laporan ini. Sehingga memang dibutuhkan sebuah mekanisme yang mengatur dengan
jelas hubungan sipil-militer di Indonesia, termasuk bagimana mengintegrasikan
TNI ke dalam proses politik nasional, tanpa harus menyeret TNI ke dalam
kontestasi politik praktis.
Empat kekhawatiran di atas memang membutuhkan pembahasan
mendalam yang melibatkan banyak pihak, selain itu TNI dituntut untuk menahan
diri dari godaan-godaan politik, serta di sisi lain partai politik diminta
untuk bekerja serius mencetak kader-kader politisi sipil yang kompetitif dan
berkualitas sehingga tidak lagi menarik-narik figur militer untuk masuk ke
panggung politik nasional. Kita mungkin bisa belajar banyak dari konsep “citizen
in uniform” yang dipraktekkan di Jerman, dimana seorang personel militer tidak
kehilangan hak politiknya termasuk hak asasi manusianya, namun di sisi lain
seorang personel militer tidak diperkenankan untuk ikut dalam pemilu selama
masih berstatus militer
Rekomendasi
Dengan adanya reformasi TNI ini diharapkan tercapainya
militer yang profesional, hal ini ditandai ketika pasca Orde Baru dimana
kepolisian memisahkan diri dari ABRI. Tanggung Jawab mereformasi tubuh TNI
diikuti dengan gerakan kembalinya militer ke barak, yang menandakan era militer
dalam politik sudah ditinggalkan. Tidak ada lagi pemberian jatah kursi khusus
di legislatif untuk militer, tidak ada lagi hak istimewa. Militer hanyalah
orang biasa yang direkrut oleh negara, dilatih dan dipersenjatai untuk menjaga
kehormatan bangsa dan negara.
Perubahan lainnya adalah sikap dan tindakan militer yang
semula mengutamakan paradigman lama, keamanan menjadi pendekatan komperhensif.
Hal ini telah terjadi di Pemerintahan ini, dimana pemerintah tidak lagi
memberikan kursi khusus militer, semua yang terlibat dalam kegiatan politik
harus bersih dari Militer. Fakta fakta menunjukkan bahwa telah terjadi
perubahan dimana dahulu pada masa era orde baru, Militer memiliki kekuasaan
penuh dimana ia menjabat sebagai tentara negara serta menjadi pimpinan daerah.
Hal itu sangatlah berbeda dengan sekarang dimana untuk menjadi gubernur,
seorang militer pun harus berhenti dari karirnya sebagai militer untuk ikut
dalam kegiatan politik di Indonesia. Seperti contoh dalam pemilihan Gubernur
DKI Jakarta, Mayor Tni Agus Yudhoyono harus merelakan karirnya di TNI demi
terlibat langsung dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2016 sebagai calon
Gubernur. Hal merupakan salah satu cara dalam membantu tercapainya militer yang
profesional. Hal hal seperti sebaiknya masih tetap dilaksanakan guna
tercapainya militer yang profesional. Militer yang kembali melaksanakan tupoksi
sebagaimana mestinya.
Selain itu perlu diingat dimana dahulu Militer dalam hal
ini ABRI pernah ikut berperan dalam sistem politik Indonesia, yakni dalam salah
satu unsur dalam Trias Politica. Dimana dahulu Militer berperan aktif dalam
legislatif, sekalipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam
pemilihan umum, namun dahulu mereka memiliki wakil dalam jumlah besar di DPR
dan MPR. Militer sebagai pelaksana fungsi sosial di lembaga perwakilan rakyat.
Mereka mendapatkan kursi dalam legislatif tanpa harus mengikuti pemilihan umum,
hal ini merupakan strategi pemerintah untuk mengamankan dan melegalisasi secara
formal kebijakan pemerintah yang diusulkan dahulu.
Fakta fakta tersebut telah berbeda dengan fakta yang ada
sekarang, dimana sejak reformasi TNI, tidak ada lagi kursi khusus Militer di
sistem politik Indonesia. Semua orang dianggap sama, militer hanyalah
masyarakat yang sama hanya berbeda tugasnya. Seperti yang kita ketahui adanya
reformasi Militer bertujuan untuk tercapainya militer profesional. Sehingga
pemerintah tidak lagi memberikan kursi khusus kepada militer. Selain itu juga
fakta fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin mengembalikan sistem politik
sekaligus hubungan militer dan politik sebagaimana mestinya tanpa campur tangan
khusus. Diharapkan pemerintah akan tetap melaksanakan kegiatan politik
sebagaimana mestinya tanpa ada campur tangan dan intervensi dari kelompok
manapun termasuk Militer.
IV. KESIMPULAN
Gelombang reformasi Mei 1998 memaksa ABRI mengadakan
perubahan internal dalam organisasi hingga paradigmanya yang disebut sebagai
Reformasi TNI. Masuk tahun ke 18 reformasi TNI tersebut masih terdapat
kekurangan walapun telah banyak perubahan di internal TNI tersebut. Kekurangan
tersebut masih perlu ditutupi dengan pengoptimalan Reformasi TNI kembali.
Sehingga TNI menjadi seperti yang diamanatkan reformasi yakni menjadi TNI yang
Profesional. Maka dari diperlukan kerjasama seluruh elemen pemerintahan dan
masyarakat dalam menyukseskan reformasi TNI sesuai yang diamanatkan oleh
reformasi.
REFERENSI
Budiadjo,
Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia
Henry B. Mayo.
1960. An Introduction to Democratic Theory. New York: University Press
Isjwara, F.
1964. Pengantar Ilmu Politik. Bandung:
Dwintara
Surbakri,
Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik.
Jakarta: Grasindo