I.
Pendahuluan
1.
Faktor Sejarah
Papua Barat merupakan Provinsi di Indonesia yang terletak
di ujung Timur Indonesia. Sebelum adanya kolonialisme di Pulau Papua terdapat
Bangsa Melanesia yang menempati pulau tersebut. Bangsa Melanesia adalah bangsa
asli yang tinggal di Pulau Pasifik, mereka sudah hidup bersama semenjak 45.000
tahun yang lalu dengan hubungan kebudayaan yang erat. Setelah datangnya koloni
untuk menjajah Pulau Papua yaitu dari Bangsa Inggris, Jerman, dan Belanda pada
tahun 1660 untuk menjajah Pulau Papua kemudian bangsa Melanesia dibagi kedalam
2 pada tanggal 7 Maret 1910. Dengan terpecahnya Pulau Papua maka hal ini
berdampak perpindahan kekuasaan yang menduduki kedua wilayah tersebut. Dengan merdekanya
bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadikan seluruh wilayah bekas
jajahan Belanda menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlahan
tapi pasti satu per satu wilayah jajahan belanda menjadi milik NKRI namun
terdapat masalah yang dihadapi oleh Indonesia yaitu ketika Belanda tidak
memberikan wilayah Papua ke Indonesia karena mereka sadar akan kekayaan alam
yang berlimpah terdapat di pulau tersebut.
Pada tahun 1961 Indonesia melaksanakan “Operasi Trikora”
yang dikumandangkan oleh Presiden Soekarno untuk merebut Pulau Papua ke tangan
Indonesia. Dalam operasi itu terjadi kontak senjata antara Indonesia dan
Belanda yang menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Situasi ini
disikapi Sekjen PBB, U Thant dengan menunjuk Dubes AS Elsworth Bunker sebagai
mediator untuk Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 15 Agustus 1962, atas
inisiatif Bunker, dicapai Agreement between Republic of Indonesia and the
Kingdom of the Nederlands Convering West New Guinea (West Irian) atau dikenal
dengan New York Agreement. Pada tahun 1963 saat Perpera ingin dilaksanakan
Belanda membuat Propaganda Politik dengan memberikan janji kepada masyarakat
Papua Barat untuk dimerdekakan. Namun setelah dilaksanakan Perpera yang pada
akhirnya menghasilkan Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia.
2.
Akar Permasalahan Papua Barat
Faktor sejarah membuktikan bahwa 45.000 tahun yang lalu
bangsa melanesia yang menempati Pulau Papua sudah mempunyai kebudayaan yang
sangat erat mulai dari hubungan sosial, budaya, dan ekonomi. Meski bangsa
melanesia ini sudah terpecah – pecah di berbagai negara tetapi mereka mempunyai
wadah untuk saling berkomunikasi yaitu Melanesian Spearhead Group (MSG).
MSG adalah organisasi kerja sama subkawasan Melanesia yang bertujuan
mempromosikan dan memperkuat hubungan perdagangan antaranggota, pertukaran
budaya Melanesia, serta kerja sama teknik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi,
pembangunan berkelanjutan, pemerintahan yang baik, dan peningkatan keamanan.
Dengan adanya MSG ini membuat bangsa melanesia di Indonesia ingin ikut
bergabung dalam MSG yang pernah diajukan pada tahun 2016 oleh United
Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Namun pengajuan yang
dilakukan oleh ULMWP ditunda sampai ada Konfrensi Tingkat Tinggi MSG tahun
depan.
Ada beberapa tokoh Papua yang ingin memisahkan diri dari
NKRI dan membentuk Republik Papua Merdeka. Para tokoh tersebut mencari bantuan
kepada negara-negara Pasifik agar membantu untuk mereferendum Papua agar bisa
lepas dari NKRI. Hal tersebut dikarenakan Papua kurang mendapatkan perhatian
dari pemerintah karena kurangnya pembangunan infrastruktur di Papua. Pemerintah
indonesia lebih memilih membangun berbagai macam infrastruktur di Pulau Jawa dan
bersifat Jawasentris. Selain itu banyak kekayaan alam Papua yang di eksploitasi
untuk kepentingan negara, tetapi ekploitasi tersebut tidak sesuai dengan
pembangunan infrastruktur di Papua. Maka dari itu munculah beberapa tokoh di
Papua untuk melepaskan diri dari NKRI.
II.
Pembahasan
1.
Intervensi PBB terhadap Referendum Papua
Beberapa waktu yang lalu kita
dikejutkan oleh KTT PBB yang digelar 13 - 26 September 2016. Pada sesi ke-71
KTT tersebut sempat membahas tentang tudingan
pelanggaran HAM di Papua Barat oleh enam pemimpin negara Pasifik. Ke enam
negara tersebut ialah Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tonga, Nauru, Kepulauan
Marshall, dan Tuvalu menyerukan agar kebebasan diberikan bagi Papua. Mereka
membahas kekhawatiran tentang keadaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
yang terjadi di Papua Barat serta mendesak respon PBB terhadap keadaan Papua.
Respon yang dimaksud adalah melakukan referendum terhadap Papua Barat. Pelanggaran HAM yang dimaksud oleh keenam negara tersebut
yaitu melekatnya hak untuk menentukan nasib sendiri oleh kelompok separatis
yang menghasilkan pelanggaran langsung HAM oleh Indonesia dalam upaya untuk
meredakan segala bentuk separatisme. Indonesia dianggap mengintimidasi kelompok
separatis tersebut yang ingin mendirikan Papua sebagai negara yang merdeka.
.
2.
Pembelaan Indonesia terhadap Tuduhan
Pelanggaran HAM
Namun, desakan dan pembahasan itu dikritik keras oleh diplomat
perwakilan Indonesia untuk misi tetap PBB, Nara Masista Rakhmatia. Menurut Nara desakan dan komentar itu hanya berlatar politik
dan sengaja diutarakan untuk mengalihkan perhatian dari masalah di
negara-negara lain. Dengan berkomentar seperti itu, secara tidak langsung
kedaulatan Indonesia telah diganggu gugat oleh ke enam negara Pasifik.
Tudingan-tudingan bermotif politik itu hanya dibuat untuk mendukung
kelompok-kelompok separatis di Papua Barat. Perlu diketahui bahwa ke enam
negara Pasifik tersebut mempunyai kedekatan dengan kelompok separatis di Papua
barat. Maka dari itu mereka mencoba mengganggu kedaulatan Indonesia di Forum
PBB ini yang bertujuan untuk melepaskan Papua Barat dari NKRI.
Indonesia memiliki sistem perlindungan HAM yang lebih baik
dibandingkan dengan keenam negara Pasifik tersebut. Hal ini karena Indonesia
telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen HAM internasional ke dalam
undang-undang dalam negeri, sementara Solomon baru empat dan Vanuatu lima.
Ditambah pula Komnas HAM di Indonesia berjalan sangat aktif dalam penanganan
HAM di dalam negeri Indonesia yang berlangsung hingga ke level provinsi. Selain
Indonesia menduduki berbagai posisi lembaga HAM di dunia, termasuk menjadi
anggota Dewan HAM PBB dan pendiri Komisi
HAM Organisasi Kerjasa Islam (OKI). Jadi mustahil terjadi pelanggaran HAM di
Indonesia tanpa diketahui dan diteliti.
I.
Penutup
Kesimpulan
Pada
KTT ke-71 PBB ini seharusnya membahas tentang Sustainable Development Goals
(SGD) yang merupakan transformasi aksi kolektif dan tantangan global lainnya,
seperti perubahan iklim dimana negara-negara Pasifik terpengaruh paling banyak.
Tetapi forum ini disalah gunakan dengan membahas pelanggaran HAM oleh Indonesia
di Papua oleh enam negara Pasifik sebagai pengalihan isu terkait masalah
regional dari ke enam negara tersebut. Selain itu terdapat indikasi kedekatan
negara Pasifik tersebut dengan kelompok separatis di Papua sehingga mereka
mendesak PBB untuk mengusut pelanggaran HAM di Papua. Sebenarnya penanganan HAM
di Indonesia sendiri sudah sangat baik sampai mengakar ke level daerah, jadi
jika terdapat pelanggaran HAM dapat terdeteksi dan ditindak lanjuti lebih
mendalam tanpa perlu adanya intervensi dari PBB. Meski begitu PBB masih
berfikir ulang tentang desakan ke enam negara pasifik agar membentuk tim
investigasi untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Papua karena hal tersebut
melanggar kedaulatan suatu negara. Pada saat ini kondisi di Papua masih dinilai
kondusif namun dikhawatirkan isu ini terus berlanjut maka akan menyebabkan
resistensi yang terjadi di Papua dan berdampak pada Perekonomian disana.