Minggu, 16 Oktober 2016

Desakan Enam Negara Pasifik terhadap Referendum Papua Barat


I.        Pendahuluan

            
             1.   Faktor Sejarah

Papua Barat merupakan Provinsi di Indonesia yang terletak di ujung Timur Indonesia. Sebelum adanya kolonialisme di Pulau Papua terdapat Bangsa Melanesia yang menempati pulau tersebut. Bangsa Melanesia adalah bangsa asli yang tinggal di Pulau Pasifik, mereka sudah hidup bersama semenjak 45.000 tahun yang lalu dengan hubungan kebudayaan yang erat. Setelah datangnya koloni untuk menjajah Pulau Papua yaitu dari Bangsa Inggris, Jerman, dan Belanda pada tahun 1660 untuk menjajah Pulau Papua kemudian bangsa Melanesia dibagi kedalam 2 pada tanggal 7 Maret 1910. Dengan terpecahnya Pulau Papua maka hal ini berdampak perpindahan kekuasaan yang menduduki kedua wilayah tersebut. Dengan merdekanya bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadikan seluruh wilayah bekas jajahan Belanda menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlahan tapi pasti satu per satu wilayah jajahan belanda menjadi milik NKRI namun terdapat masalah yang dihadapi oleh Indonesia yaitu ketika Belanda tidak memberikan wilayah Papua ke Indonesia karena mereka sadar akan kekayaan alam yang berlimpah terdapat di pulau tersebut.

Pada tahun 1961 Indonesia melaksanakan “Operasi Trikora” yang dikumandangkan oleh Presiden Soekarno untuk merebut Pulau Papua ke tangan Indonesia. Dalam operasi itu terjadi kontak senjata antara Indonesia dan Belanda yang menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Situasi ini disikapi Sekjen PBB, U Thant dengan menunjuk Dubes AS Elsworth Bunker sebagai mediator untuk Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 15 Agustus 1962, atas inisiatif Bunker, dicapai Agreement between Republic of Indonesia and the Kingdom of the Nederlands Convering West New Guinea (West Irian) atau dikenal dengan New York Agreement. Pada tahun 1963 saat Perpera ingin dilaksanakan Belanda membuat Propaganda Politik dengan memberikan janji kepada masyarakat Papua Barat untuk dimerdekakan. Namun setelah dilaksanakan Perpera yang pada akhirnya menghasilkan Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia.

              2.   Akar Permasalahan Papua Barat

Faktor sejarah membuktikan bahwa 45.000 tahun yang lalu bangsa melanesia yang menempati Pulau Papua sudah mempunyai kebudayaan yang sangat erat mulai dari hubungan sosial, budaya, dan ekonomi. Meski bangsa melanesia ini sudah terpecah – pecah di berbagai negara tetapi mereka mempunyai wadah untuk saling berkomunikasi yaitu Melanesian Spearhead Group (MSG). MSG adalah organisasi kerja sama subkawasan Melanesia yang bertujuan mempromosikan dan memperkuat hubungan perdagangan antaranggota, pertukaran budaya Melanesia, serta kerja sama teknik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pemerintahan yang baik, dan peningkatan keamanan. Dengan adanya MSG ini membuat bangsa melanesia di Indonesia ingin ikut bergabung dalam MSG yang pernah diajukan pada tahun 2016 oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Namun pengajuan yang dilakukan oleh ULMWP ditunda sampai ada Konfrensi Tingkat Tinggi MSG tahun depan.

Ada beberapa tokoh Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI dan membentuk Republik Papua Merdeka. Para tokoh tersebut mencari bantuan kepada negara-negara Pasifik agar membantu untuk mereferendum Papua agar bisa lepas dari NKRI. Hal tersebut dikarenakan Papua kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah karena kurangnya pembangunan infrastruktur di Papua. Pemerintah indonesia lebih memilih membangun berbagai macam infrastruktur di Pulau Jawa dan bersifat Jawasentris. Selain itu banyak kekayaan alam Papua yang di eksploitasi untuk kepentingan negara, tetapi ekploitasi tersebut tidak sesuai dengan pembangunan infrastruktur di Papua. Maka dari itu munculah beberapa tokoh di Papua untuk melepaskan diri dari NKRI.



II.     Pembahasan

1. Intervensi PBB terhadap Referendum Papua

      Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan oleh KTT PBB yang digelar 13 - 26 September 2016. Pada sesi ke-71 KTT tersebut sempat membahas tentang tudingan pelanggaran HAM di Papua Barat oleh enam pemimpin negara Pasifik. Ke enam negara tersebut ialah Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tonga, Nauru, Kepulauan Marshall, dan Tuvalu menyerukan agar kebebasan diberikan bagi Papua. Mereka membahas kekhawatiran tentang keadaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua Barat serta mendesak respon PBB terhadap keadaan Papua. Respon yang dimaksud adalah melakukan referendum terhadap Papua Barat. Pelanggaran HAM yang dimaksud oleh keenam negara tersebut yaitu melekatnya hak untuk menentukan nasib sendiri oleh kelompok separatis yang menghasilkan pelanggaran langsung HAM oleh Indonesia dalam upaya untuk meredakan segala bentuk separatisme. Indonesia dianggap mengintimidasi kelompok separatis tersebut yang ingin mendirikan Papua sebagai negara yang merdeka.
.

2. Pembelaan Indonesia terhadap Tuduhan Pelanggaran HAM

Namun, desakan dan pembahasan itu dikritik keras oleh diplomat perwakilan Indonesia untuk misi tetap PBB, Nara Masista Rakhmatia. Menurut Nara desakan dan komentar itu hanya berlatar politik dan sengaja diutarakan untuk mengalihkan perhatian dari masalah di negara-negara lain. Dengan berkomentar seperti itu, secara tidak langsung kedaulatan Indonesia telah diganggu gugat oleh ke enam negara Pasifik. Tudingan-tudingan bermotif politik itu hanya dibuat untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di Papua Barat. Perlu diketahui bahwa ke enam negara Pasifik tersebut mempunyai kedekatan dengan kelompok separatis di Papua barat. Maka dari itu mereka mencoba mengganggu kedaulatan Indonesia di Forum PBB ini yang bertujuan untuk melepaskan Papua Barat dari NKRI.


Indonesia memiliki sistem perlindungan HAM yang lebih baik dibandingkan dengan keenam negara Pasifik tersebut. Hal ini karena Indonesia telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen HAM internasional ke dalam undang-undang dalam negeri, sementara Solomon baru empat dan Vanuatu lima. Ditambah pula Komnas HAM di Indonesia berjalan sangat aktif dalam penanganan HAM di dalam negeri Indonesia yang berlangsung hingga ke level provinsi. Selain Indonesia menduduki berbagai posisi lembaga HAM di dunia, termasuk menjadi anggota Dewan HAM PBB dan  pendiri Komisi HAM Organisasi Kerjasa Islam (OKI). Jadi mustahil terjadi pelanggaran HAM di Indonesia tanpa diketahui dan diteliti.

I.        Penutup


         Kesimpulan

Pada KTT ke-71 PBB ini seharusnya membahas tentang Sustainable Development Goals (SGD) yang merupakan transformasi aksi kolektif dan tantangan global lainnya, seperti perubahan iklim dimana negara-negara Pasifik terpengaruh paling banyak. Tetapi forum ini disalah gunakan dengan membahas pelanggaran HAM oleh Indonesia di Papua oleh enam negara Pasifik sebagai pengalihan isu terkait masalah regional dari ke enam negara tersebut. Selain itu terdapat indikasi kedekatan negara Pasifik tersebut dengan kelompok separatis di Papua sehingga mereka mendesak PBB untuk mengusut pelanggaran HAM di Papua. Sebenarnya penanganan HAM di Indonesia sendiri sudah sangat baik sampai mengakar ke level daerah, jadi jika terdapat pelanggaran HAM dapat terdeteksi dan ditindak lanjuti lebih mendalam tanpa perlu adanya intervensi dari PBB. Meski begitu PBB masih berfikir ulang tentang desakan ke enam negara pasifik agar membentuk tim investigasi untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Papua karena hal tersebut melanggar kedaulatan suatu negara. Pada saat ini kondisi di Papua masih dinilai kondusif namun dikhawatirkan isu ini terus berlanjut maka akan menyebabkan resistensi yang terjadi di Papua dan berdampak pada Perekonomian disana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEKILAS tentang PT Telekomunikasi

Sektor-sektor yang paling menarik perhatian para fund manager internasional yang aktif berinvestasi di luar negeri, termasuk Indonesia, adal...